Islam Mosque
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
RSS

Jumat, 08 Februari 2013

Mempengaruhi Cut Nyak Dhien

Mempengaruhi Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien tidak asing lagi bagi Teungku Fakinah, sejak perang di Aceh Besar berkecamuk, Beliau sudah dikenal baik dengan Cut Nyak Dhien, baik dalam pertarungan mereka di Montasik, Lamsi maupun ketika kedatangan Cut Nyak Dhien ke Lam Krak senantiasa mampir ke rumah Teungku Fakinah, untuk beramah tamah dan meminta bantuan perbekalan perang bagi pengikut-pengikut Teuku Umar. Dalam hal ini Teungku Fakinah selalu memberikan bantuan berupa beras, kain hitam dan uang tunai. Dan sebaliknya Teungku Fakinah sering juga datang ke rumah Cut Nyak Dhien di Lampadang/Bitai dan tempat-tempat lain di mana Cut Nyak Dhien tinggal. Dengan demikian perjuangan kedua wanita satria ini sangat erat hubungannya. Oleh sebab itu Teungku Fakinah sangat terkejut ketika mendengarkan T. Umar telah membelot dan bergabung dengan pihak Belanda Lalu Teungku Fakinah bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Cut Nyak -Dhien juga ikut membelot ataukah T. Umar sendiri. Jika T. Umar sendiri mengapa Cut Nyak Dhien tidak menahan maksud suaminya itu agar tidak bergabung dengan musuh. Demikian pertanyaan itu terpendam dalam hatinya. Teungku Fakinah memikirkan untuk mengirimkan utusan kepada Cut Nyak Dhien untuk menanyakan isi hati dari rekannya itu, namun belum ada seorang wanita pun yang berani pergi ke Peukan Bada untuk bertemu langsung dengan Cut Nyak Dhien.
Sementara itu tersiar berita bahwa T. Umar sedang bergerak bersama serdadu Belanda menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh. Untuk mengantisipasi masalah ini maka segera dibangun tiga buah kuta (benteng) yaitu Cot Pring, Cot Raja, dan Cot Ukam. Kemudian itu datang dua orang wanita dari Bitai mengantar nazarnya untuk perang sabil, bahkan sumbangan yang diserahkan kepada Teungku Fakinah bukan hanya dua orang saja tetapi ada kiriman dan beberapa orang lainnya dari Bitai dan Peukan Bada. Melalui ke 2 orang wanita Bitai itu Teungku Fakinah mengirim salamnya kepada Cut Nyak Dhien selaku rekan lamanya, dengan menyampaikan beberapa kata sindiran sebagai ceumeti yang menusuk dada Cut Nyak Dhien, dengan katakata:
"Peugah bak Cut Nyak Dhien haba lon : Yu Jak beureujang lakoe gagnyan Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee".
Artinya : sampaikan kata saya kepada Cut Nyak Dhien ; suruh datang suaminya Teuku Meulaboh untuk berperang dengan perempuan-perempuan janda supaya orang dapat melihat keberaniannya, bahwa laki-laki melawan wanita janda.
Setelah cukup pembicaraan dengan kedua wanita Bitai itu, maka kedua wanita ini terus pulang sampai ke kampungnya, tetapi tidak langsung menyampaikan kabar itu kepada Cut Nyak Dhien, melainkan memberitahukan kepada wanita lain yang dipercayanya dan sering masuk ke rumah Cut Nyak Dhien. Setelah mendengar kabar ini, Cut Nyak Dhien sangat cemas hatinya, kemudian disunth panggil kedua wanita Bitai itu melalui wanita kepercayaannya untuk bertemu langsung denganya Dalam hal ini kedua wanita itu tidak mau datang takut ditangkap, selama dua hari di tunggu-tunggu oleh Cut Nyak Dhien, mereka tidak kunjung datang.
Secara diam-diam Cut Nyak Dhien datang ke Bitai untuk menemui kedua wanita itu, namun kedua wanita tersebut telah bersembunyi di rumah yang lain. Lalu Cut Nyak Dhien menyampaikan pesan pada wanita lain bahwa dia perlu bantuan kedua wanita itu untuk menyampaikan kabar balik ke Lam Krak, yang merupakan kabar balasan dari Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah. Maka besok paginya datanglah kedua wanita itu kerumah Cut Nyak Dhien dan keduanya diterima dengan ramah tamah. Diserambi belakang mereka duduk bertiga membicarakan khabar yang dibawa dari Lam Krak, kemudian ke dua wanita itu disuruh balik ke Lam Krak untuk bertemu dengan Teungku Fakinah dengan membawa kabar balasan yang disertai dengan bungong jaroe yaitu; 2 kayu kain hitam untuk celana, 6 potong selendang, 1 kayu kain untuk baju prajurit wanita dan 1 potong kain selimut untuk selimut Teungku Fakinah sendiri, serta uang 200 real untuk pembeli kapur dan sirih.
Besok paginya berangkatlah kedua wanita itu dari Bitai menuju Lam Krak. Satu orang menjunjung sumpit yang berisikan beras dan yang satu lagi menjunjung satu berkas tikar mensiang yang berisikan barang-barang kiriman Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah di Lam Krak. Sesampainya di Lam Krak kedua wanita ini, langsung bertemu dengan Teungku Fakinah, dan menyerahkan barang amanah itu. Dalam pertemuan itu juga, disampaikan pula salam dan pesan-pesan Cut Nyak Dhien yang isinya:
"Atee Cut Nyak Dhien mantong lagee soet, lon inseuh keulangkah lakoe lon yang kameuseuruek. Hubungan lidah Nyak Faki nyoe ngon lon yang neuba lee droe neuh mudah-mudahan Tuhan puwoe langkah kamoe lagee soet".
Artinya "Hati Cut Nyak Dhien seperti semula, saya beri keinsyafan terhadap langkah suami saya yang telah berperosok. Hubungan lidah Nyak Fakinah ini dengan saya yang saudara bawa mudah-mudahan Tuhan kembalikan langkah kami seperti semula".
Demikianlah kata filsafat dalam pertemuan diplomatik antara kedua pengantar kata, dari hati ke hati antara dua orang Srikandi ulung Pahlawan Tanah air yakni Teungku Fakinah dari Lam Krak dan Cut Nyak Dhien dari Lam Pisang. Pindah Ke Tangse Sesudah jatuhnya Seulimum, Teungku Fakinah mengungsi ke lammeulo (Cubok), mula-mula ia tinggal di Tiro bersama dengan Teuku Tjik di Tiro Mat Yeet, setelah itu pindah ke Tangse dan sekaligus membangun tempat tinggalnya di Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun). Daerah ini merupakan daerah yang sangat indah dan lahan yang sangat subur, sehingga ditempat ini dijadikan perkampungan dan sekaligus membuka lahan pertanian. Semua sisa harta benda, emas dan perlengkapan senjata diangkut ke daerah baru ini, dan didaerah ini juga dibangun Deah (perguruan/Pasantren) tempat wanita mengaji Al-Qur'an. Namun dalam tahun 1899 perkampungan ini diserang oleh tentara Belanda dan rumah tempat tinggal Teungku Fakinah diobrak abrik dan sebagian emas milik Teungku Fakinah diambil oleh serdadu Belanda, sementara beliau terlepas dari kepungan serdadu tersebut.
Semenjak itu Teungku Fakinah tidak lagi membuat kuta (benteng), namun hanya bergerilya basama-sama Pocut lam gugob istri dari Tuanku Hasyim banta Sultan, Pocut Awan yaitu ibu dari Tengku Panglima Polem dan dengan wanita-wanita lain yang masih aktif bergerilya mengikuti jejak suaminya mengarungi hutan belantara, berpindah-prndah sampai kepegunungan Pasai, dan Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut Tawar, dalam pengawasan Tengku Nyak Mamat Peureulak. Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang peranan sebagai Panglima Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang pendidikan agama, terutama mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya dengan cara berpindahpindah.
Kembali ke Lam Krak Sesudah Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan Teuku Raja Keumala dapat ditundukkan oleh Van Heutz, maka pada tanggal 21 Mei 1910 atas permintaan Teuku Panglima Polem, supaya Teungku Fakinah pulang kembali ke kampung halaman untuk membuka kembali deah/pesantren di Beuha (Lam Krak). Dengan demikian pada tahun 1911 Teungku Fakinah kembali ke Lam Krak dan membuka kembali Deah/Pesantren, yang mendapat sambutan baik dari masyarakat umum. Dalam pembangunan pesantren ini, banyak pihak masyarakat dengan secara sukarela mengeluarkan zakat dan sumbangan pribadi, sehingga pembangunan ini berjalan dengan lancar. Setelah deah ini berdiri, maka banyak yang berdatangan dari berbagai penjuru Aceh seperti halnya : seluruh pelosok 3 segi Aceh Besar, Meulaboh, Calang, Aceh Timur, Pidie dan Samalanga, terutama janda-janda dan gadis-gadis untuk belajar mengaji ke Lam Krak.
Simpatisan masyarakat terhadap Pesantren Teungku Fakinah sangat besar, sehingga tempat ini setiap harinya banyak dikunjungi oleh tamu-tamu dari luar mukim Lam Krak. Demikian juga, banyak yang datang mengantar sumbangan sosial untuk biaya hidup bagi murid-murid Deah/Pesantren, sehingga murid-murid yang belajar disitu, selain dapat bantuan pangan dan orang tuanya, juga menerima bantuan dari masyarakat umum. Ada juga bentuk sumbangan lainnya yang disumbangkan oleh masyarakat terhadap Deah/Pesantren tersebut seperti Al- Qur'an dan kitab yang diperlukan untuk pelajaran.

0 komentar:

Posting Komentar